Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Jumat, 25 Mei 2012

Dear my Great Sister in the World :)


Dear sisters ♥

Don't be like some girls who are pleased by seducing men and proud of being surrounded by many guys... remember, cheap items are usually surrounded by many buyers...

Don’t try to win a boy’s love and lose Allah’s satisfaction
But be like a star, so far no one can reach you, so dear, bright and shining, guiding people with the light of your good deeds.

Be like a pearl, so precious, well protected in your shell (hijab ), the only one who canhave you is the right man who would realize your true value and cherish your protected beauty.

Just be a true and strong Mujahidah fighting against all the fitnah and temptations around her :)


May Allah Always Bless us :) Ameen

-your sister

Touching heart story I


A doctor entered the hospital in hurry after being called in for an urgent surgery.
He answered the call asap. Changed His Clothes & went directly to the surgery block.

He found the boy's father pacing in the hall waiting for the doctor, On seeing him, the dad yelled:

"Why did U take all this time to come? Don't you know my son's life is in danger? Don't U have any sense of responsibility?

The doctor Smiled & said:
"I am sorry, I wasn't in the hospital & I came as fast as I could after receiving to call...And NOW, I wish you'd calm down so that I can do my work"

"Calm down?! what if your son.. was in this room right now, would you calm down? If your own son dies how what will U do??" said the father angrily...

The doctor smiled again & replied: "I will say what ALLAH Subhana Watala said in the Qur'an {From it we created you and into it we shall send you back and from it will we raise you a second time}
[Qur'an 20:55].
DOCTORS cannot prolong lives, Go & intercede for your son we will do our best by ALLAH Subhana Wa tala will"

"Giving advises when we're not concerned is so easy" Murmured the father.

The surgery took some hours after which the doctor went out happy.

ALLHUM DU LILLAH!, Your son is saved!" And without waiting for the father's reply he carried on his way running. "If U have any Question, Ask the nurse!!"

"WHY is he so arrogant? He couldn't wait some minutes so that I ask about my son's state" (commented the father when seeing the hrs minutes after the doctor left.

The nurse answered, tears coming down her face: "His son died yesterday in a road accident, He was in the burial when we called him for your son's surgery. And now that he saved your son's life he left running to finish his son's burial."

Moral ♥ : Never-Judge-Anyone

Jumat, 18 Mei 2012

Riwayat-riwayat Syiah yang bertentangan


Tanya: Banyak sekali pertentangan antara satu riwayat dengan riwayat lain dalam kitab-kitab Syiah sehingga bangkit beberapa ulama untuk menyelaraskan pertentangan-pertentangan itu. Betul tidak?

Jawab: Di masa hidupnya, Rasulullah saw sering mengingatkan tentang adanya para pemalsu hadits di tengah-tengah para sahabatnya. Ia bersabda:

“Janganlah kalian berbohong atasku. Barang siapa berbohong atasku maka ia akan dibakar di api neraka.”[1]

Ia juga bersabda:

“Barang siapa berbohong atasku, maka hendaknya ia menyiapkan tempatnya di api neraka.”[2]

Artinya di masa hidupnya Nabi banyak orang-orang yang bagi Ahlu Sunah adalah sahabat yang adil; padahal mereka sering berbohong atas nama Nabi atau melakukan suatu perbuatan yang mereka suka lalu menisbatkannya kepada beliau.

Apa lagi sepeninggal Nabi, yang mana pada masa itu penulisan hadits secara total dilarang. Banyak orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengaku Muslim namun mereka sering memalsukan hadits. Misalnya Ka’ab Al-Ahbar, Wahab bin Manbah, Tamim Dari, dan lain sebagainya.[3]

Banyaknya hadits-hadits palsu inilah yang menciptakan banyaknya pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya.

Ibnu Abil Auja’ dibesarkan di rumah Hammad bin Muslim, seorang tokoh hadits besar Ahlu Sunah; ia sering kali menjahili kitab-kitab Hammad dan memalsukan hadits-haditsnya.[4]

Cukup kita mendengar bahwa Bukhari mengaku telah memilih 2.761 hadits dari 600.000 hadits yang ada.

Shahih Muslim memilih 4.000 hadits dari 300.000 hadits yang ada.

Kebanyakan motif dari pemalsuan ini adalah usaha pencapaian kedudukan atau kepentingan materi.

Jika dipikir, andai kita membagi waktu-waktu yang ada pada hayat Nabi menjadi beberapa bagian berbeda-beda, maka kita akan sadari bahwa tidak mungkin Nabi sepanjang umurnya telah mengucapkan sekian banyak hadits, bahkan 1/10 nya saja. Oleh karena itulah ulama Ahlu Sunah hanya mengkategorikan beberapa hadits saja sebagai hadits shahih.

Tentu masih saja banyak ditemukan hadits-hadits palsu sedemikian rupa yang bertentangan dengan hadits-hadits lainnya. Misalnya tentang bahwa Tuhan itu memiliki tubuh, Tuhan bisa dilihat, dan lain sebagainya.

Adapun pertentangan-pertentangan yang ditemukan dalam kitab-kitab hadits Syiah, ya memang ada juga hadits-hadits palsu dalam kitab kami. Namun yang lebih banyak lagi bukanlah faktor pemalsuan yang membuat kita berfikiran bahwa hadits-hadits tersebut terkesan bertentangan, ada faktor-faktor lain seperti:

1. Terpotongnya riwayat

Terkadang ada riwayat yang menukilkan hadits secara sepenggal saja dan penggalan yang lain tidak disebutkan.

2. Riwayat yang hanya menukil kandungan hadits

Sebagian riwayat tidak menyebutkan secara detil hadits atau ucapan maksumin, namun hanya menukilkan kandungan dan maksudnya saja.

3. Pemalsuan hadits

Ada juga hadits-hadits palsu dalam kitab-kitab kami. Kebanyakan adalah ulah para Ghulat (orang-orang Syiah yang berlebihan dalam fahamnya). Misalnya Mughirah bin Sa’id dan Abu Zainab Asadi yang dikenal dengan Abul Khitam; Imam Ja’far Shadiq as menunjuk nama-nama mereka lalu berkata, “Mereka telah berbohong atas aku dan ayahku.”[5]

Dengan demikian ulama Syiah berupaya untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan berbagai cara. Yang jelas mereka sama sekali tidak menghiraukan hadits-hadits palsu. Namun bagaimana dengan kitab-kitab anda?


[1] Shahih Bukhari, hadits 106.

[2] Ibid, hadits 107.

[3] Muqadamah Ibnu Haldun, hlm. 439.

[4] Mizanul I’tidal, jld. 1, hlm. 593.

[5] Rijal Kashi, hlm. 196, nomor 103.



Oleh Muhammad Thabari, dalam bukunya yang berjudul “Jawaban Pemuda Syiah atas Pertanyaan-Pertanyaan Wahabi”

Mengapa dzat Tuhan tidak dapat diketahui?


Poin utama dalam masalah nir-batasnya Dzat Allah dan terbatasnya akal adalah ilmu dan pengetahuan kita sebagai manusia.

Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.

Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas?

Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.

Dari sisi lain, wujud nir-batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah Dia; Allah Swt. sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas.

Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan? Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin (mumkinul wujud)., sedangkan sifat- sifat wajib al-wujud berbeda dengan -sifat yang lainnya.[1]

Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat­Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh:

Pada akal seorang hakim hingga kapan Anda menggapai?

Tak ‘kan pernah terlintas dalam benakmu jalan ini.

Akal tak ‘kan memahami kedalaman Dzat-Nya,

bilamanakah sampai bongkahan kqyu ke dasar laut![2]

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”.[3] Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Allah. Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang Dzat Nir-batas melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil.

Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal. Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat.

Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia? Ketika kita mengarahkan tangan ke arah realitas Dzat Allah, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup.

Dengan menyebutkan satu perumpamaan kita dapat menjelaskan masalah ini. Bahwa kita semua tahu bahwa ada kekuatan alam yang disebut sebagai kekuatan gravitasi. Segala sesuatu yang terlepas akan jatuh dan tertarik ke bawah. jika kekuatan gravitasi ini tidak ada, ketenangan dan ketentraman bagi seluruh makhluk di muka bumi tidak akan ada.

Ilmu tentang adanya gravitasi bumi bukanlah sesuatu yang hanya diketahui oleh para ilmuwan saja. Anak-anak yang berakal sehat pun dapat mencerap realitas gravitasi bumi ini dengan baik. Akan tetapi, hakikat gravitasi bumi itu apa, apakah ia adalah gelombang-gelombang frekuensi atau atom-atom atau kekuatan lain?

Dan anehnya adalah gravitasi bumi bertentangan dengan segala sesuatu yang kita kenal dari alam semesta ini. Secara lahiriah, untuk transformasi dari satu titik ke titik yang lain tidak memerlukan waktu yang cukup. Berbeda dengan cahaya yang memiliki gerakan tercepat dalam dunia materi ini. Akan tetapi, ketika mengalami transformasi dari satu titik ke titik yang lain, ia masih memerlukan waktu jutaan tahun lamanya. Namun, gravitasi bumi dapat berpindah dalam satu detik dari satu titik bumi ke titik bumi yang lain dalam waktu yang cukup pendek dan atau sekurang-kurangnya kecepatan yang dimilikinya lebih singkat dari yang kita dengar hingga kini.

Kekuatan macam apakah yang memiliki efek seperti ini? Bagaimanakah hakikat kekuatan ini? Tidak ada seorang pun yang memiliki jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Kita hanya memiliki pengetahuan global tentang kekuatan gravitasi ini sebagai salah satu makhluk. Kita tidak memiliki pengetahuan tentangnya secara detail. Bagaimana kita dapat menguak ihwal Pencipta dunia materi dan hakikat metafisis yang merupakan wujud nir-batas dan dapat mengetahui kedalaman dzat-Nya?

Akan tetapi, dengan kondisi seperti ini pun kita dapat menyaksikan bahwa Dia selalu hadir, mengawasi setiap tempat dan bersama setiap wujud di alam semesta ini.

Seratus ribu jelmaan yang keluar dari-Mu,

Seratus ribu pandangan aku menyaksikan -Mu.[4]


[1] Makna “air-terbatas” ini tidak dapat kita ilustrasikan. Apabila dipertanyakan bahwa bagaimana kalimat “nir-terbatas” ini digunakan, sementara dengan kalimat ini kita sedang memberikan sebuah kabar dan membicarakan hukum-hukumnya? Memangnya tashdiq (penegasan) tanpa tasawwur (gagasan) dapat terwujud? Jawaban atas pertanyaan ini adalah, dalam menggunakan kalimat ini, kita mengambilnya dari dua singular (kalimat tunggal), na (‘adam) nir yang bermakna tidak, dan mutanahi yang bermakna terbatas. Maksudnya, kedua kalimat ini dapat kita konsepsikan secara terpisah nir dan terbatas. Setelah itu, kita sintesakan satu dengan yang lainnya dan mengisyaratkannya kepada wujud yang tidak tergagaskan dalam benak. Dari pengetahuan tentang wujud ini kita temukan pengetahuan global. (perhatikan baik-baik)

[2] Payam-e Qur’an, jilid 4, hal. 33.

[3] Tafsir Ali bin Ibrahim berdasarkan nukilan dari Nur ats-Tsaqalain, jilid 5, hal. 170.

[4] Payam-e Imam, Syarah Nahjul Balaghah, jilid 1, hal. 91.

Apakah pencipta juga memiliki pencipta?


Galibnya, dalam pembahasan ma’rifatullah, soal seperti ini dilontarkan oleh orang-orang yang baru menelusuri padang luas ini. Mereka akan bertanya, “Jika Anda mengatakan bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, kini katakan kepada kami siapakah pencipta Tuhan itu?”

Anehnya, acapkali soal seperti ini terurai pada sebagian ucapan-ucapan filsuf Barat yang menandakan hingga batas mana mereka berbuat dan berstatus Awal dalam pembahasan filsafat .

Bertrand Russel, salah seorang filsuf ternama Inggris dalam bukunya “Why I am Not a Christian?” (Mengapa Aku Bukan Seorang Kristen?) berkata, “Aku beriman kepada Tuhan ketika aku berusia muda. Aku meyakininya melaui argumen kausalitas yang terbaik. Dan Aku melihat segala sesuatu yang ada di muka bumi ini memiliki sebab. Apabila mata-rantai sebab itu kita kaji, pada akhirnya kita akan sampai kepada sebab awal dan aku menamai sebab awal ini sebagai Tuhan. Akan tetapi setelah itu, aku meninggalkan kepercayaan ini. Lantaran aku berpikir; apabila segala sesuatu harus memiliki sebab dan pencipta, maka Tuhan juga harus memiliki sebab dan pencipta!”

Namun, kita tidak berpikir bahwa seseorang yang paling tidak mengenal masalah-masalah filsafat yang berhubungan dengan pembahasan ma’rifatullah dan dunia metafisika, akan bungkam dalam menjawab pertanyaan ini.

Pembahasan ini sanga dah jelas. Ketika kita berkata bahwa segala sesuatu memiliki pencipta, maksudnya adalah setiap sesuatu yang terjadi (hadits) dan mumkin al-wujud. Dengan demikian, kaidah universal ini hanya berlaku pada sesuatu yang sebelumnya tidak ada dan kemudian ada, bukan pada wajib al-wujud yang bersifat azali (tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Satu wujud azali dan abadi tidak memerlukan pencipta sehingga kita bertanya­tanya; siapakah pencipta Sang Pencipta? Dia berdiri sendiri (qa’im) atas Dzat-Nya sendiri. Dia tidak pemah tiada sebelumnya sehingga memerlukan sebab untuk diwujudkan.

Dengan kata lain, wujud Tuhan berasal dari wujud-Nya sendiri, bukan berasal dari luar Dzat-Nya.’ Dia tidak diciptakan sehingga ada pencipta-Nya. Ini dari satu perspektif.

Dari perspektif lain, sebaiknya Tuan Russel dan orang­-orang yang sepaham dengannya mengajukan soal ini kepada diri mereka sendiri, yakni, dalam ungkapan “apabila Tuhan memiliki pencipta…”, kata pencipta akan terulang. Apabila kita bertanya bahwa pencipta-nya pencipta itu siapa, niscaya akan berlanjut begitu seterusnya; dimana setiap pencipta memerlukan penciptanya entah sampai kapan. Inilah tasalsul (vicious regress) yang tak berujung, dan ketidakabsahan tasalsul ini sangatlah jelas.

Dan apabila kita sampai pada wujud yang keberadaanya berasal dari diri-Nya sendiri (mandiri) dan tidak memerlukan pencipta (baca: wajib al-wujud), Dialah Tuhan Sang Pencipta seluruh semesta raya ini.

pembahasan ini juga dapat diterangkan dengan pendekatan lain. Ketika kita bukan seorang mukmin dan sepaham dengan apa yang diyakini oleh kaum materialis, kita tetap harus menjawab soal ini. Dengan menerima hukum sebab-akibat, segala sesuatu di alam ini adalah akibat dari sebab yang lain. Sementara soal serupa yang kita ajukan kepada orang-orang mukmin, juga kita ajukan kepada seorang materialis; bahwa sekiranya segala akibat adalah materi, lalu apa yang menjadi sebab wujudnya materi?

Mereka juga tidak memiliki altematif lain dalam menjawab soal ini. Mereka akan berkata, “Materi azali yang senantiasa ada dan akan tetap ada. Materi azali ini tidak memerlukan sebab. Dengan ungkapan lain, ia adalah wajib al-wujud.”

Atas dasar ini, kita melihat seluruh filsuf dunia, baik Ilahi atau materialis meyakini satu wujud azali. Suatu wujud yang tidak memerlukan pencipta dan senantiasa ada. Perbedaannya adalah kaum materialis beranggapan bahwa sebab awal ini hampa ilmu, pengetahuan, akal dan nalar. Dan mereka percaya, sebab awal ini memiliki jasad, terikat di dalam ruang dan waktu. Akan tetapi, bagi para fisuf Ilahi, Sebab Awal ini memiliki ilmu, kehendak dan tujuan. Mereka tidak percaya bahwa Sebab Awal ini memiliki jasad, dan terikat di dalam ruang dan waktu. Ia berada di atas ruang dan waktu.

Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan Tuan Russel yang berpandangan bahwa sekiranya ia mengucapkan selamat tinggal kepada orang-orang mukmin dan berada di barisan kaum materialis dan kabur dari cengkaraman soal ini, pertanyaan itu tidak akan membiarkannya lolos. Karena, kaum materialis juga percaya kepada hukum sebab-akibat dan berkata bahwa setiap peristiwa memiliki sebab.

Dengan demikian, solusi untuk memecahkan masalah ini adalah kita harus memahami dengan baik perbedaan antara wujud hadits dan azali, mumkin al-wujud dan wajib al-wujud, sehingga kita mengetahui bahwa yang memerlukan pencipta adalah wujud­-wujud yang hadits (yang terjadi) dan mungkin. Maksudnya ialah bahwa setiap yang tercipta, memerlukan pencipta. Namun, yang tidak tercipta, tidak akan memiliki pencipta.

Optimisme !



Salah satu cara agar kita selalu terhindar dari gangguan dan tekanan jiwa, kita harus selalu menyikapi segala hal dengan bijak dan berpandangan positif. Tidak hanya para psikolog saja yang menekankan masalah ini, Al Qur’an pun juga demikian. Agar kita dapat berpandangan positif, kita harus menjalankan dua langkah penting berikut: berpandangan luas terhadap kondisi yang ada, dan berbaik sangka kepada Allah.



A. Berpandangan luas terhadap kondisi yang ada

Kebanyakan dari tekanan-tekanan jiwa diakibatkan oleh faktor-faktor seperti penyesalan akan masa lalu, kehilangan kesempatan, mengalami kekalahan, ketertinggalan, takut akan masa depan, dan lain sebagainya. Para Imam maksum mengajarkan kita untuk merenung dan berfikir secara positif terhadap keadaan yang ada. Namun renungan dan fikiran ini haruslah bersifat melebar dan luas tanpa melupakan hakikat-hakikat maknawiyah. Dalam dua ayat, Al Qur’an melarang manusia untuk berpandangan sempit dalam menilai permasalahan serta mengingatkan akan adanya hal-hal ghaib di balik panggung materi ini. Dalam ayat 22 dan 23 surah Al Hadid kita membaca:

“Tidak ada satupun bencana yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahduz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang sedemikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan supaya kalian, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak suka orang yang sombong lagi berbangga diri.”[1]

Al Qur’an menekankan kita agar tidak berpandangan sempit dalam menilai permasalahan. Disebutkan dalam kitab suci tersebut:

“Dan mungkin saja kalian membenci sesuatu yang padahal itu baik bagi kalian dan mungkin saja kalian menyukai sesuatu yang padahal itu buruk bagi kalian.”[2]

Dalam fiqih Islam terdapat sebuah kaidah yang dikenal dengan kaidah maisur yang artinya adalah “memandang keadaan yang ada”. Berdasarkan kaidah ini, manusia seharusnya memahami dan menjalankan tugas-tugasnya dan menjauh dari kegelisahan dan ketidak tenangan. Rasulullah saw bersabda:

“Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka lakukanlah; dan jika aku melarang kalian, maka tinggalkanlah.”

Imam Ali as. juga berkata:

“Suatu kewajiban tidak akan gugur hanya karena susah dikerjakan (meski susah, kita harus berusaha mengerjakannya, karena itu adalah kewajiban kita; tak masalah apapun hasilnya).”[3]

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa ketika manusia menghadapi permasalahan dalam hidupnya, ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikannya, dan hendaknya ia mengurangi kegelisahannya dengan cara penyesuaian diri dengan kondisi yang ada. Pada hakikatnya pesan asli riwayat-riwayat di atas adalah fleksibilitas manusia dalam menjalani kehidupannya; karena jika demikian, manusia akan terhindar dari tekanan-tekanan psikis dan stres.[4]



B. Berbaik sangka kepada Tuhan

Menurut pandangan riwayat Islami, orang yang suka berburuk sangka kepada sesamanya menunjukkan buruknya diri sendiri. Orang yang buruk, selalu berburuk sangka kepada siapa saja. Imam Ali as. berkata:

“Orang yang buruk, tidak akan pernah berprasangka baik kepada siapapun, karena segala yang ia lihat tak lain adalah cerminan keburukan dirinya sendiri.”[5]

Suka berburuk sangka adalah sebuah penyakit jiwa yang menjadi sebab berbagai macam penyelewengan dan ketergelinciran dalam perjalanan spiritual. Dalam sebuah suratnya yang ditulis kepada Malik Al Asytar, Imam Ali as. berkata:

“Sesungguhnya sifat pelit, pengecut, penakut, adalah sifat-sifat buruk yang berkumpul pada satu sifat: berburuk sangka kepada Allah.”[6]

Berbaik sangka, adalah kunci yang sangat penting untuk kesehatan ruhani. Imam Shadiq as.berkata:

“Sesungguhnya Allah akan berbuat sesuai dengan prasangka hamba-Nya, baik ketika hamba berprasangka baik atau buruk.”[7]

Imam Ali as. juga berkata:

“Prasangka baik adalah (sumber) ketenangan hati dan selamatnya agama.”[8]

“Orang yang tidak mau berbaik sangka, ia akan merasa takut kepada semua orang.”[9]

Prasangka baik kepada Allah swt. bergantung pada kadar iman dan harapan seorang hamba terhadap Tuhannya.[10] Jika kita memperhatikan lebih lanjut, kita akan mendapati bahwa sifat berprasangka baik kepada Tuhan ini tidak akan ditemukan kecuali dalam diri orang yang benar-benar tidak menaruh harapan kepada selain Allah swt.[11] Saat kegembiraan dan kesenangan dianugerahkan oleh Allah swt. kepadanya, ia akan bersyukur, dan jika Allah swt. Menimpakan musibah dan cobaan, ia bersabar.[12]

Dalam doa ‘Arafah Imam Husain as. disebutkan:

“Apa yang dimiliki oleh orang-orang yang kehilangan-Mu? Dan apa yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang memiliki-Mu?”[13]

Jadi orang yang selalu berprasangka baik kepada Allah swt. tidak akan pernah berhadapan dengan jalan buntu apa lagi terjerumus dalam stres dan tekanan mental; semakin berat musibah dan cobaan yang ia hadapi, semakin besar pula kesabaran dan ketegarannya.

Apa sebenarnya faktor meyakini agama?

Apa sebenarnya faktor meyakini agama?


Sebagian sosiolog dan psikoanalis materialis Barat dan Timur bersikeras mengatakan bahwa sumber kemunculan agama dan ideologi terhadap ma’rifatullah berasal dari rasa takut dan kejahilan atau faktor-faktor lain yang termasuk dalam kategori ini. Pendapat seperti ini dapat disimpulkan dalam empat asumsi mendasar.


a. Asumsi Kejahilan

Salah seorang sosiolog ternama mengatakan, “Meskipun ilmu dan sains telah berhasil menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah tersingkap itu masih kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami hal-hal misterius ini telah menyebabkan kemunculan agama.”[1]

Salah seorang filsuf materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap kejadian-kejadian sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka membayangkan bahwa ilmu (baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang tidak dapat berdamai. Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum kausalitas, pada detik yang sama ia tidak dapat memberikan peluang kepada akalnya untuk membayangkan bahwa barangkali terjadi dalam lintasan peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan dan kendala atas terjadinya sebuah peristiwa.[2]

Sederhananya, mereka hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami telah menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang menciptakan dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya faktor dan sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini keberadaan Tuhan dan agama.

Kesalahan mendasar para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin berikut ini:

Pertama, mereka membayangkan bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti mengingkari hukum kausalitas. Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah kita harus menerima sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?

Padahal dalam filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab alami merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.

Kita tidak pernah mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak jelas. Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud satu Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.

Kedua, mengapa mereka lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga hari ini melihat adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini. Menafsirkan sistem ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat diterima. Dan mereka menganggap keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi, pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal orang. Dan semakin maju ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap seluk-beluk sistem jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan Sumber Awal bagi keberadaan semesta ini akan semakin gamblang .

Atas dasar ini, kita yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan kemajuan ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan aturan­aturan jagad raya ini merupakan ‘langkah baru untuk pengenalan yang semakin cermat terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam rangka mengenal Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu, lantaran mereka tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.



b. Asumsi Rasa Takut

Will Durant, seorang sejarawan ternama Barat, di dalam buku sejarahnya, ketika membahas “Sumber-sumber Agama”, menukil pendapat Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa takut yang paling penting ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini, manusia pertama tidak dapat meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian itu.[3]

Senada dengan teori di atas, B. Russel berkata, “Aku berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut bersumber dari musibah-musibah alam, dari peperangan dan sebagainya. Rasa takut dari pekerjaan-pekerjaan salah yang dilakukan manusia ketika syahwat mendominasi.”[4]

Kekeliruan asumsi ini akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar keyakinan kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu saja, harus ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang akhirnya kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.

Benar bahwa iman kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia. Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan berbagai perrstrwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan. Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?

Dengan kata lain, meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau semisalnya, seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan kakinya, ia akan melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh. Bangunan kokoh dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila bersumber dari gejala-gejala aksidental dan faktor­faktor yang tidak masuk akal. Sekuntum bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata apik serta fenomena­fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari kenyataan itu.

kenyataan ini senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama, lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah “dungu” dalam menghadapi realitas telanjang ini dan “takut” terhadap kemajuan ideologi agama, sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi­-asumsi yang tak berdasar.



c. Asumsi Faktor Ekonomi

Eksponen asumsi ini adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah alat-alat reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena sosial, seperti budaya, ilmu, filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai akibat dari perkara ini.

Untuk menghubungkan kemunculan agama dan masalah­masalah ekonomi, mereka mengajukan penafsiran yang aneh. Di antaranya, mereka berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan menciptakan agama. kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku “Sosialisme wa Mazhab” (Sosialisme dan Agama) adalah, “Agama di tengah masyarakat merupakan candu.” Dalam kasus ini terdapat sederet ungkapan yang serupa; terulang-­ulang.

Untungnya, penyokong asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang ternyata kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat menjungkalkan kaum imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi, para Fir’aun Mesir dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka, terpaksa mereka mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta sejarah.

Lebih dari itu, tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum imperialis, khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan Barat, atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri. Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu melihat terangnya sinar matahari.

Secara umum, dengan memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak sesuai dengan asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya gerakan-gerakan sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah ekonomi juga membentuk bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan transendental manusia.



d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika

Dalam tema agama dan sains, Einstein berujar, “Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang beraneka dan beragam coraknya…” Setelah menyebutkan asumsi takut, ia menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat orang tuanya. Kerabat, para pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang di sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk terbimbing dengan petunjuk, menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk keyakinannya kepada Tuhan.”[5] Dengan urutan seperti ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi moral dan motivasi sosial.

Mari kita kembali menelaah pendapat di atas. Orang­orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur yang dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan untuk menemukan harta karun.

Oleh karena itu, adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah sebuah efek, bukan sebuah motivasi.

Motivasi utama agama yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya; semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman, kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan menerima begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak kepada Sumber Awal sistem jagad ini.

Tentu saja kasus lain dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan sebelumnya.

Dan anehnya, Einstein sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia mengubah pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa ia mengingkari ideologi yang bergantung kepada khurafat-khurafat, bukan kepada sebuah tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.

Ia menuturkan, “Sebuah makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah ditemukan oleh mereka.” Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut “perasaan religius penciptaan” atau “perasaan religius keberadaan”. Dan di tempat lain, disebut sebagai “takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat jagad raya”.

Dan yang lebih menarik adalah penegasannya, “Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian hidup para cendikiawan. “[6]

Tentu saja, dalam masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan tafsir tematik.

Oleh karena itu, kita kembalikan kepada persoalan utama.

Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati (motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.[7]

Maksud ketidaksempurnaan akal wanita


Pertanyaan

Apakah yang diungkapkan oleh Imam Ali as tentang tak sempurnanya akal wanita merupakan penghinaan terhadapnya?



Penjelasan

Imam Ali as dalam khutbah ke 80 Nahjul Balaghah berkata: “Sesungguhnya kaum wanita tak sempurna akalnya.” Hadits ini dan hadits-hadits yang mirip dengannya telah menimbulkan pertanyaan di atas di benak kita. Untuk menjawabnya kita akan mulai dengan dua pendahuluan:

Pertama, kita harus mengkaji dalam kondisi apakah hadits tersebut diungkapkan oleh para Imam, baru setelah itu kita akan lebih mudah memahami maksudnya. Sebagaimana dalam tafsir ayat-ayat Qur’an memiliki Asbabun Nuzul, hadits pun juga demikian. Jika kita memahami Asbabun Nuzul maka kita akan lebih mudah memahami maksudnya.

Jika ditelusuri, khutbah ke 80 Imam Ali dalam Nahjul Balaghah itu beliau sampaikan seusai perang Jamal. Sayid Radhi, penyusun Nahjul Balaghah dalam permulaan khutbah tersebut telah mengingatkan kita akan masalah ini. Sebagaimana yang kita ketahui, perang Jamal adalah perang yang dipimpin oleh seorang wanita bernama Aisyah melawan Imam Ali as. Dan perempuan itulah sebab dari segala persengketaan dan percekcokan dalam pemerintahan Imam Ali as. Aisyah dengan emosi kewanitaannya menyulut api perang Jamal, membuat puluhan ribu jiwa melayang, menjadi faktor meletusnya perang Shiffin dan Nahrawan; itu semua hanya karena emosi seorang wanita yang menyimpan permusuhan terhadap Imam Ali as dalam hatinya. Oleh karena itu Imam Ali as berkata: “Para wanita tak sempurna akalnya. Maka janganlah kau turuti semua keinginannya.”[1]

Beliau mencela kaum lelaki yang mengikuti Aisyah dalam perang Jamal seraya berkata: “Kalian adalah tentara seorang wanita dan pengikut hewan (onta yang dinaiki Aisyah).”[2] Dalam penjelasan khutbah ini disebutkan:

“Tak diragukan bahwa khutbah di atas bukanlah satu pernyataan umum yang mencakup seluruh wanita. Karena khutbah ini beliau sampaikan seusai perang Jamal yang dipimpin oleh Aisyah dan memakan banyak korban, maka yang beliau maksud dalam khutbah itu adalah wanita-wanita yang seperti Aisyah. Banyak wanita-wanita yang dijunjung tinggi dalam ajaran kita, seperti Khadijah, Fathimah Azzahra, dan juga seorang wanita pejuang Saudah Hamdaniah yang berkorban demi keadilan. Wanita-wanita seperti itu sangat ditinggikan martabatnya.”[3]

Kedua, Imam Ali as tidak hanya menyebut wanita berakal tak sempurna, bahkan ia juga pernah menyebut beberapa lelaki yang memiliki akal yang tak sempurna pula.

Beliau berkata: “Lelaki yang menyukai dan senang dengan dirinya sendiri adalah lelaki yang tak sempurna akalnya dan lemah.”[4]

Beliau juga pernah berkata: “Lelaki yang kagum atas dirinya sendiri adalah lelaki tolol.”

Ia pernah menyebut lelaki-lelaki Kufah demikian: “Kalian adalah orang-orang yang tidak berakal.”[5]

Beliau pernah juga mencaci penduduk Bashrah dengan berkata: “Akal-akal kalian telah menjadi lemah.”[6]

Oleh karena itu ketidak sempurnaan akal tak terbatas pada wanita saja, namun lelaki terkadang juga demikian. Betapa banyak para wanita yang memiliki akal tinggi dan lelaki yang bodoh. Oleh karena itu hadits-hadits demikian tidak dapat dijadikan keistimewaan atau penghinaan terhadap lelaki dan perempuan.

Dengan penjelasan di atas kita juga dapat menambahkan jawaban yang dapat kita ambil dari Al-Qur’an:



Persamaan dalam penciptaan

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa lelaki dan perempuan diciptakan dari “satu” asal, dan oleh karena itu keduanya sama dan tidak ada keistimewaan apapun bagi salah satu terhadap selainnya. Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut. Misalnya:

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raaf [7]:189)

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisaa’ [4]:1)

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.” (QS. An-Nahl [16]:72)

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa lelaki dan perempuan sama dan tercipta dari satu asal.

Selain itu Al-Qur’an menjadikan lelaki dan perempuan sama-sama sebagai lawan bicaranya tanpa mebeda-bedakan mereka. Allah swt hanya memberikan keistimewaan kepada hambanya karena ketakwaan dan amal saleh. Perhatikan ayat-ayat berikut ini juga:

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Israa’ [17]:70)

“Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (QS. An-Nahl [16]:4)

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik” (QS. An-Nahl [16]:97)

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya…” (QS. An-Nuur [24]:30-31)

Banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan kewajiban lelaki dan perempuan secara bersama-sama tanpa membeda-bedakan mereka.



Bermacam-macam makna akal dalam riwayat

Imam Ali as berkata: “Akal ada dua: akal alami yang dimiliki seseorang dan akal yang muncul karena pengalaman.”[7]

Akal alami adalah sesuatu yang membedakan manusia dari hewan-hewan. Adapun akal yang satunya adalah akal pemikiran yang muncul karena latihan, pengalaman, percobaan dan lain sebagainya.

Saat beliau berkata wanita lemah akalnya, bukan berarti akal alaminya yang lemah, namun maksudnya adalah para wanita lebih sedikit pengalamannya.

Akal yang muncul karena pengalaman tidak ada kaitannya dengan akal alami dan akal sempurna manusia. Akal alami lelaki dan perempuan sama tak ada bedanya, hanya saja karena perempuan lebih sedikit berpengalaman maka akalnya yang muncul dari pengalaman lebih sedikit daripada lelaki yang banyak pengalaman. Hal itu bukanlah aib bagi perempuan, karena berkaitan dengan perannya masing-masing.

Imam Ali as pernah menyatakan bahwa perempuan yang memiliki banyak pengalaman layak untuk dimintai pertimbangan dan bermusyawarah dengannya. Beliau berkata: “Janganlah kalian bermusyawarah dengan wanita, kecuali jika engkau tahu kesempurnaan akalnya.”[8]

Imam Ali as juga pernah berkata: “Akal adalah suatu daya yang akan bertambah dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman.”[9]

Memag lelaki dan perempuan secara esensial tidak berbeda, namun ada faktor-faktor eksternal yang membedakan mereka, seperti jenis kelamin, perbedaan emosional, peran yang dijalankan, pengalaman-pengalaman, dan lain sebagainya.

Para psikolog menyatakan: “Para wanita memiliki emosi dan sensitifitas perasaan yang lebih tinggi. Mereka lebih bisa memahami seni, keindahan, kecantikan, dan lain sebagainya dari pada lelaki. Namun perbedaan-perbedaan itu bukanlah kekurangan dan kelebihan satu jenis terhadap jenis lainnya. Karena memang secara alami demikian dan lelaki dan perempuan dapat saling menyempurnakan dengan adanya perbedaan-perbedaan tersebut.”[10]



Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa lelaki dan perempuan secara esensial tidak ada bedanya. Perbedaan-perbedaan yang ada antara lelaki dan perempuan bukanlah aib dan kekurangan, namun dengan adanya perbedaan itu mereka dapat saling menyempurnakan.



Referensi untuk mengkaji lebih jauh:

1. Muhammad Ja’far Imami, Muhammad Ridha Ashtiyani, Tarjome e Guyo va Sharh e Feshorde bar Nahjul Balaghah, jil. 1, hal. 39 & 389.

2. Murtadha Muthahari, Nezam e Hoquq e Zan dar Eslam, hal. 208.



Hadits akhir:

Rasulullah saw bersabda: “Jangan kalian beda-bedakan anak-anak kalian dalam mengasihi. Jika seandainya aku boleh membedakan, aku lebih memuliakan anak-anak perempuan.”[11]

Iblis Lebih pandai daripada Khalifah ?



Abul Hudzail Allaf adalah seorang alim Suni yang sangat terkenal di abad ke-3. Ia hidup di Bashrah, dan datang ke Baghdad pada tahun 230 H., lalu meninggal dunia di usia 100 tahun di Baghdad, tahun 235 H.

Pada suatu hari, Ali bin Maitsam bertanya kepada Abul Hudzail: “Bukankah Iblis selalu mendorong manusia untuk berbuat buruk dan melarangnya berbuat baik?”

Abul Hudzail menjawab, “Ya, memang demikian.”

Ali bin Maitsam: “Apa bisa Iblis mencegah manusia dari perbuatan baik yang tidak ia ketahui dan mendorongnya kepada perbuatan buruk yang juga tidak ia ketahui?”

Abul Hudzail: “Iblis pasti mengetahuinya.”

Ali bin Maitsam: “Jadi Iblis mengetahui segala kebaikan dan keburukan?”

Abul Hudzail: “Ya, Iblis tahu.”

Ali bin Maitsam: “Katakan padaku, siapa saja imammu setelah nabi? Apakah semuanya mengetahui segala kebaikan dan keburukan atau tidak?”

Abul Hudzail: “Mereka tidak mengetahui semuanya.”

Ali bin Maitsam: “Kalau begitu iblis lebih pintar dari imam-imammu.”

Akhirnya Abul Hudzail ditinggalkan begitu saja dan ia tidak berkata apa-apa.[1]

Rahasia Kelanggengan Peradaban dan Budaya Islam



Rumit sekali untuk membahas apa saja penyebab terwujudnya suatu peradaban dan banyak sekali pendapat yang berbeda-beda dalam masalah ini. Meski demikian, dengan mengkaji satu per satu pendapat para pemikir Muslim mengenai peradaban dan kebudayaan Islam, kita dapat menarik satu benang merah, yaitu: dasar dari peradaban dan kebudayaan Islam adalah wahyu dan Tauhid, bukan apa yang diyakini para umanis; dan agama adalah suatu sistem yang mencakup segala fenomena peradaban dan budaya. Satu kenyataan yang pasti bahwa pondasi semua ilmu-ilmu, khususnya falsafah dan ilmu-ilmu ‘aqli (yang merupakan bapak dari ilmu-ilmu lainnya), adalah mazhab-mazhab; dan ini adalah sebuah fakta yang buktinya adalah data-data sejarah yang ada.

Sebagian pemikir dalam membahas masalah peradaban Islami, tidak menekankan adanya perbedaan antara budaya dan peradaban. Oleh karena itu, mereka menjadikan kata budaya sebagai sinonim kata peradabn. Degan menerima anggapan ini, kita dapat menyebutkan beberapa poin yang menjadi pilar kebudayaan dan peradaban Islam:

Pengenalan terhadap Tuhan: Salah satu rukun peradaban dan kebudayaan Islam adalah pengenalan terhadap Tuhan. Faham inilah yang menyadarka kita bahwa setiap keberadaan di alam wujud ini saling berkaitan satu sama lain; khususnya manusia, baik individu maupun secara keseluruhan, mereka berkaitan dengan Tuhannya. Budaya Islam bertumpu pada Tauhid; pandangan dunia Islam menuntut kita untuk menyadari bahwa alam semesta adalah makhluk ciptaan-Nya yang selalu tunduk dan taat; segalanya berada dalam kuasa dan rahmat sang Esa serta tak ada satu pun yang menjadi penghalang keberdampakan sebab terhadap akibatnya.

Dalam Al Qur’an disebutkan: “Dan Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri berkehendak untuk merubah apa yang ada pada dirinya.” (Ar Ra’d: 13)

Kelanggengan budaya Islam: Tak diragukan, budaya yang memiliki kriteria seperti ini, semakin luas makna yang dikandung Tauhid maka semakin luas pula cakupan pemahamannya; dan ujungnya adalah kelanggengan. Dengan sifatnya yang seperti ini, budaya Islam adalah budaya yang stabil dan langgeng yang mana kestabilan dan kelanggengan tersebut tercurah pada setiap sisi mazhab: pada keyakinan, fiqih, dan akhlaq; yang mana hal tersebut merupakan kunci keberhasilan tercapainya tujuan-tujuan risalah global Rasulullah saw. Inilah budaya yang memberika ketenangan pada jiwa, menguatkan tekat manusiawi manusia, memenuhi kebutuhannya yang tak terhingga, dan mengantarkannya pada kemenangan, keberhasilan dan kebahagiaan.

Cakupan yang luas: Budaya Islam memiliki cakupan luas dan tak terbatas. Dalam setiap bagiannya memiliki dasar-dasar hukum; dan semuanya bersumber dari satu prinsip dan pemikiran. Dengan demikian secara alami keseluruhannya memiliki keseimbangan dan keserasian.

Mobilitas budaya Islam: Berdasarkan kehendak Ilahi, manusia adalah makhluk yang berpotensi memiliki derajat khalifah Ilahi di muka bumi. Demi tercapainya maksud tersebut, manusia diberi kehendak dan ikhtiar secara sempurna. Dalam budaya Islam, manusia didorong untuk berkembang dan mendaki puncak kesempurnaan yang telah digariskan sebelumnya. Dalam ajaran suci ini manusia diberi arahan untuk menapakkan kaki di perjalanan maknawi menuju kesempurnaan dan Tuhan telah memberikan tiga bekal kepada manusia: fitrah, ajaran para nabi, dan musibah serta cobaan.

Budaya Islam adalah budaya yang memiliki mobilitas dan bersifat konstruktif. Dalam setiap fase dan keadaan di manapun manusia berada, Islam selalu dapat memberikan ajaran dan dorongan untuk terus maju. Setiap penemuan baru dan ilmu yang digapai oleh manusia dianggap sebagai alat untuk mengenal Tuhannya lebih jauh; dan perjalanan dalam mengenal diri dan makhluk disebut sebagai perjalanan ibadah dan pendekatan kepada Allah.

Kesatuan dan keserasian: Inilah kriteria budaya Islam yang tidak dimiliki budaya lainnya. Dalam budaya Islam, di saat kita menguatkan dan memajukan suatu sisi dalam kehidupan, kita diharuskan pula menguatkan sisi lainnya yang berkaitan. Dengan demikian terciptalah keserasian dalam hidup; sebagaimana alam semesta serasi bertasbih memuji sang Pencipta.

Dengan mengkaji sejarah perkembangan kebudayaan, kita sering mendapati bahwa para nabi selalu berada di titik-titik pusat peradaban dan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa agama memiliki keunggulan penerapan dalam kehidupan sosial-politik.

Oleh karena itu, mari kita menjaga eksistensi budaya Islam yang sebenarnya. Kita harus mencari dan mengaktualisasikan peradaban yang bersumber dari Al Qur’an. Al Qur’an dengan wujud tekstualnya dapat diaktualisasikan kandungannya ketika kata “Allah” menemukan makna hakikinya; yakni mengalirnya agama di dalam urat nadi kehidupan manusia baik individual maupun sosial. Manusia tidak bisa menciptakan peradaban global dengan pondasi materialisme. Manusia hanya bisa menciptakan impian itu dengan menggunakan konsep “kekhilafahan Allah” dengan maknanya yang hakiki.

Rabu, 16 Mei 2012

Expectations from the Muslim Woman (Part 3)

Expectations from the Muslim Woman
Part 3

Dr. Ali Shariati

When there was such a hospital, with such a staff in a remote village near Sabzevar in the 7th and 8th Islamic centuries, there must certainly have been more important and well-equipped hospitals in larger cities like Rey, Tus, Balkh, Bukhara and Baghdad. But we see that our ethnically-oriented intellectuals announce that a European or American woman serving in the first world war established nursing in the world. They negate and oppose the nurses who worked in the early stage of Islam, because it is a religious tradition.

Therefore, you see how problems are confused, how rights are abolished, how great talents are sacrificed in the name of religious traditions and how many great religious values and Islamic virtues are forgotten in the name of intellectualism and opposition to traditional, religious beliefs!

Thus the responsibility of those who understand both the present society and Islam (and who live in the present century) is very heavy. They must bear the burden of many centuries of emotions, ideas and faith. It is not an easy task to travel such a long distance and discover the truth which exists beyond it.

As mentioned, one of the most important factors that enables Islamic communities to stand against and resist the insidious invitation of pseudo-scientific Freudianism and its dreadful use of sexuality is the presence of an exemplary religious models in a humane culture. In the same way that Western worldwide colonialization stupefies the minds of its own youth through narcotics, Western colonialism designs and promotes Freudianism and sexual liberty for Eastern countries Western colonialism exports sexual liberty into the Eastern countries in exchange for their raw materials. In place of the oil, diamonds, gold, rubber, etc. which the West takes from the East, it gives sexual liberty to them.


hey will be so involved with installment payments, sexual obsessions, etc. that they will never come to look and think about other problems!

The most important weapon of Islamic youth against this insidious invitation of the West is the possession of symbols leading the mind to genuine spiritual experiences. The spiritual symbols made available to the present generation which is unwilling to be captured either by hollow, conservative, anti-human, anti-Islamic ethnic traditions or by the stupefying culture of indecent Western modernism are the best weapons against the West's attack.

The woman of the Third World must be one who selects, who makes a choice. She is the woman who neither accepts the inherited mould nor the imported novelty. She recognizes both of them. She knows and is aware of both of them. The one which is imposed upon her in the name of tradition which she inherits, is not related to Islam at all but is related to ethnic customs of the period of paternalism and even slavery. And the one which is imported from the West is not science, not humanity, not freedom and not liberty. It is not based on sanctity and respect for women at all. Rather it is based on the low tricks of the bourgeoisie stupefying consumerism and mindless self indulgence.

She wants to select, to choose, but what model? She wants neither the model of the traditional, strict woman, nor the model of the modern degraded woman. She wants the face of a Muslim woman. Fortunately both material and history are available to build this third figure. And even more authentic than history, more logical than scientific arguments are the objective exemplary personalities who are symbols in our Islamic history.

All of them were gathered in a family. All lived in a small room a family, each of whose members is a symbol, a model. Being Hasan-like means having patience and peace. Being Husayn-like means participating in spiritual and religious struggle in the way of God (Jihad ) and martyrdom. Being Zaynab-like means bearing the heavy social mission of justice and truth. Being Fatima-like means being a real woman. Being Ali-like means being virtuous.

I do not intend to once again repeat the life of Fatima as a model. All I knew in this respect I have already said and written. But I would like to mention once again that it is not sufficient only to understand and repeat the historical biographies. We must realize how to describe, how to understand, how to learn lessons from Fatima's life.

When the Prophet of Islam said that Fatima was one of the four greatest women of the world, when he consoled all the pains, miseries and disturbances of her life and implied she would be selected as the woman among women of the world, he was not intending to superficially greet her or to give her false consolation. He was quite serious in this respect. He recommended she be patient and bear the heavy burden and responsibility of being Fatima. Fatima's sisters did not have such a responsibility and were living with their husbands as ordinary Muslim women. But Fatima was exceptional. Thus the Prophet by calling her 'the woman among women of the world' was intending neither to make an idol for his followers to worship nor to praise her as a victim in order to mourn for her. He intended to introduce her as a model and a symbol, to learn lessons from the manner of her life and to act in accordance with it. This is the meaning of being the "woman among women of the world."

How can we learn from Fatima's life? You all know the various dimensions of her life and, thus, there is no necessity to repeat it here. The only point that I would like to make is that we should try to learn from this great personality .

For example, when we consider Fadak in Fatima's life, we must see what lesson we can learn from it. Fatima's insistence upon getting back Fadak was not for the sake of possessing a small farm. Her struggle must not be reduced to that level. Her struggles and efforts were to take what she thought was her right, even though the companions of the Prophet tried to show that their opposition was according to Islamic standards Therefore, the real value of Fadak is as a symbol, an example; a reason and a manifestation not as a farm.

Today Fadak does not exist. Some may say that such historical subjects must not be considered and discussed so much But, quite the contrary, I believe these are living subjects which must be repeated and discussed not as historical events which are taught in schools, but rather as subjects from which one can gain valuable lessons.

What lessons? A lesson to be learned about the highest manifestation of motherhood in Islamic history, about Fatima, about the edifying symbol of woman in the house, in marriage, in relationships, in motherhood, in training and nourishing children like Hasan, Husayn and Zaynab and in companionship with her husband Ali. She was a woman who throughout the whole of her life, from her childhood to her marriage, from her marriage to the end of her life, felt herself to be a responsible, committed person, a part of the destiny of the community, defending what was right, supporting justice in thought, idea and deed and confronting the usurpation, oppression and deviation, which existed in her society. She was ever present in all social problems and confrontations. She did not remain silent until her death even though she knew that she would not succeed in this fight. This is the meaning of social commitment and responsibility. This is the lesson that can be learned from Fatima's life.

When she was yet a small girl of around ten years, she went everywhere in Makkah with the Prophet of Islam, her father. No one expected a small girl to go hand in hand in such a social political and ideological situation, together with her father. But Fatima felt herself responsible for the destination of the Islamic Revolution although according to her age, she was not responsible. So she was present at any confrontation. She was present wherever the Prophet of Islam was alone against the enemy. She stood beside him. Numerous cases have been recorded. For example, once when the Prophet's enemies poured dust onto his head from a balcony, it was Fatima who cleaned the dust from the face of the Prophet with her small hands. It was she who gave consolation to him.

The Prophet and his family were exiled in the desolate valley for three years. Heroes such as Sad ibn Waqqas (the famous officer and commander) even after the passing of many years, when recalling those days, would tremble with terror. Throughout that time, when the whole responsibility for the blockade, imprisonment, humiliation, loneliness, hunger, and difficulties rested upon the shoulders of the Prophet, Fatima was present. She caressed her old mother, her hero father and even gave consolation to her older sisters! She was the only source of love, kindness and enthusiasm in this horrible valley and through those hard and difficult years.

When the Prophet migrated to Madinah, she bore the difficulties of the period of migration. Even in marrying Ali, she showed social commitment because everyone knew that Ali was not a man of the house but rather a man of battle. Thus he was not a desirable husband from the point of view which seeks only home, pleasures and comfort. Everyone knew that Ali possessed nothing except a sword and love. They knew he would not possess anything else up to the end of his life. Fatima knew that Ali would never return home with full hands. She knew that the hand of destiny had made Ali like an anvil which must bear all strokes, tortures and hardships. Thus by selecting a warrior like Ali as a husband, Fatima shouldered a great intellectual, human and social responsibility.

Thus Fatima consciously made her selection. She gloriously bore the heavy burden of this mission up to her death. She made a home which is unique in history, beyond human scale and standards. For everyone, whether Muslim or not, admits that her home was a paradigm of the human situation a home in which Ali was the father, Fatima was the mother, Hasan and Husayn the sons and Zaynab the daughter. All of them were elevated symbols. All of them were gathered in one family not dispersed throughout history in order to be collected and introduced separately. They were one generation inside one house. It is really painful for Muslims who had such models, such a religion and such a culture to have such a destiny. A great personality like Fatima was among the members of this family. She was such a distinct woman that Ayisha, the Prophet's wife, praised her saying, "I never saw anyone higher than Fatima, except her father, the Prophet."

Thus it is sufficient for any intellectual woman to read a book about Fatima (or about other distinguished Islamic women, like Khadija or Zaynab) to know these figures and compare them with figures who are introduced in the name of modernism.

When the Prophet migrated to Madinah, Fatima bore the difficulties of the period of migration. Even in marrying Ali, she showed social commitment. Any women comparing Fatima with women who are introduced through modern magazines will recognize significant differences and reach the proper and inevitable conclusion.

Therefore the most important duty of the aware, responsible writers and preachers is to introduce these figures clearly, brightly, consciously and accurately to the present generation thus holding up the most efficient, conscious, humane models to defend and resist the West's attack.

A real figure of a Muslim woman can be seen in the Battle of Siffin the battle that took place between Ali and Muawiyah. In this battle, the women (who were in Ali's army) by singing epic poems, verses and by encouragement and enthusiastic lectures and speeches, inspired Ali's army against Muawiyah. After the Battle of Siffin and the death of Ali, Muawiyah ordered these women to be pursued in order to take revenge against the families. One of these women was captured and sent to Muawiyah's court in Damascus. Muawiyah told her that she had a very sinful past. She, in order to avoid Muawiyah's revenge, said, "God bless you. Overlook the past." But Muawiyah said, "Do you know that you shed the blood of our army when we fought by Ali's army in the Battle of Sifffin?" She courageously answered, "God bless you that you gave me this blessed news [that I participated in that war against you and your army]."

This is the face of a Muslim woman! If we study the books which have been written about Muslim women, we will notice that wherever Islam ruled throughout history, Muslim women have shown the greatest talents in science, literature and social issues. But wherever Islamic societies have declined, women also declined. Our intellectuals have never found the opportunity to study the life and personality of Zaynab properly and to take note of her real figure and role.

When Zaynab saw that the revolution had begun, she left her family, her husband and her children, and joined the revolution. It was not for the sake of her brother Husayn, who was the leader of this revolution, that she joined it. She did so because of her own responsibility and commitment to her society, her religion and her God. When she saw that a struggle and revolution had begun against an oppressive system, she joined the revolution and was beside her brother Husayn in all stages in those difficult days. Even after the martyrdom of Husayn and his companions, she carried the flag of the continuation of Karbala's revolution. She performed her mission thoroughly, perfectly and fairly. She performed her mission with strength and courage. She expressed with words the truth that Husayn expressed with blood. She shouted out against tyranny in any land. She distributed the seeds of revolution in any land that she entered, either free or as a captive. It is no accident that Muslims, wherever they are, show a great and deep sympathy towards the Prophet's family and love them.

It was Zaynab, the Prophet's grand daughter, who stood against and confronted the ruling oppressive power and who destroyed all resistance. She accomplished all this against a tyrannical caliphate which had conquered Iran and Byzantium. She spread the thoughts and ideas of Husayn's school of revolution and martyrdom everywhere and in every land. She took the drops of the blood of Karbala as a symbol of courage and justice to all places and all times.

Yes! All of these miracles belonged to a woman! Thus when a woman a conscious and responsible, committed woman sees such heroics from a woman who belonged to Fatima's family, she understands where she must look, how she must be. She realizes that a woman of any age and any century can emulate this model.

These are the values that will not change or grow old nor do they depend upon the customs of the social, cultural or economic systems. These are stable and permanent values which will be destroyed only when there is no longer any humanity in existence. Thus, the present day woman must know Fatima was a woman who was a warrior during her childhood, a woman who showed patience and tolerance in the hard days of the economic blockade, a woman who endured three years of imprisonment in the desolate valley in Makkah, a woman who cooperated and showed great sympathy to the Prophet of Islam after the death of her mother. She was the woman who acted 'as his mother' and, therefore, was entitled to be addressed by the Prophet as 'her father's mother'. She was the woman who, in Madinah, was the wife of Ali, the great warrior, the man whom she herself had selected. When she married Ali, she entered a home which lacked everything except poverty and love. Then as Ali's wife, she showed the highest example of companionship, fellowship, and the most ascending spirit. She was always beside Ali as a wife, a friend, a companion and a confidant who kept his secrets and bore his hardships.

And finally, she was the nourisher and trainer of Hasan, Husayn and Zaynab. Her part in training Zaynab was even more important than Husayn, the symbol of humanity, because Husayn had grown up inside the Prophet's mosque and among the companions of the Prophet. He had grown up in Madinah at the center and peak of the confrontations and great social events. But Fatima had trained Zaynab inside her home and in her lap. The role of Zaynab in the revolution of Karbala and its continuation and progress, resulted from Fatima's teaching and from the high spirit of Zaynab.

From every corner of Fatima's house, a symbol and a manifestation of humanity appears. The Prophet's family was considered to be the benchmark of Islamic understanding in all ages and at all times. Even after the victory of the Prophet in Madinah, Fatima still was the emblem of the bearer of poverty, harshness and difficulties outside the home and was the highest caliber mother inside.

At the peak of victory and the glory of Islam, when her father was the leader of Islam, Fatima was still the example of a woman who lived as your sister and my sister. She bore hunger as a slave. She bore hardships and tolerated deprivation for the glory of her husband and the leadership of her father. And after the death of her father, when those difficult days were renewed, she once again started the struggle. Throughout the crises (when all the companions of the Prophet and all warriors from the battles of Badr, Hunayn and Uhud were silent in Madinah) this solitary mother did not cease her resistance. She actively continued her struggle.

Even at nights she visited the companions of the Prophet and influential political personalities. She spoke with the great friends of the Prophet and important personalities. She brought awareness to all. She criticized all of them. She analyzed and foresaw the calamity. This was her social role at that stage until she died. But even with her death, she created a political event! She asked to be buried at night. After her death, her memories, actions, and struggles created a revival in Islamic history. She became the manifestation of the search for justice and truth in all the revolutionary uprisings of the 2nd through the 8th centuries in all countries from Egypt to Iran. Even at the present time, she acts as a model for Muslim women: as a daughter of God's Prophet; as a mother who trained a girl like Zaynab and sons like Hasan and Husayn; as a wife, a high, ascending and exemplary wife to her husband; and as the companion of Ali's solitude, hardships and difficulties. She was beside him everywhere as a committed social woman, a woman who from the early stages of her life never left her father and fought beside him and struggled with him. She was the woman who fought against tyranny on the external front and who fought against deviation, usurpation and oppression on the internal front.

She died in solitude and silence. She asked Ali to bury her in secret, at night. Here was a woman who even used her death and burial ceremony as a means for struggle in the way of truth. This is how it is to be a Muslim woman in the present age.

Expectations from the Muslim Woman (Part 2)

Expectations from the Muslim Woman
Part 2

Dr. Ali Shariati


For example, we all know about the widespread international police network and the extensive intelligence services which observe even the minutest movement anywhere in the world. And yet, there are tons and tons of narcotics which are freely transferred from the East to the West. They are distributed and sold by huge international organizations and transferred through their factories, planes, ports, ships and offices. Why is it that the international police cannot prevent the distribution of narcotics among the younger generation of Europe and the U.S.A. Why? Because ruling powers prevent the young generation from understanding what is going on in Europe and the U.S.A.? Ruling powers prevent them from caring about who rules the destiny and fate of humanity. This is a the same ruling power which colonizes both West and East only its methods and relations differ. At any rate, in both East and West, human beings are victims of this anti-human worldwide power.

One of the most important means that has been created by this ruling power from the intellectual, social, economic and moral point of view, is Freudian sexualism. This has become the common social spirit of our age and has become the substitute for all values, virtues and liberties.

It is not accidental that Freud's view of sexuality came to prominence after the second world war and became the fundamental basis and foundation of art. Most motion pictures are based on only two elements: violence and sexuality. Both of these are legacies of the war. Motion pictures are one of the most important examples of the relationship of art to Western capitalism because film production is the only art which cannot exist and develop without the aid of capital. Thus it differs from the arts of painting, literature, poetry and music. A poor painter, writer, poet or musician can create the greatest work of art, but a film producer must have capital of millions of dollars to create a saleable film. Thus, this art is unconsciously supporting capitalism.

The pseudo-intellectuals and pseudo-scholars of the third and fourth worlds suppose that Freudism is really the science of the present age. Modern scholars research and record Freud's works in a special way.

It is interesting that in underdeveloped countries, under the guise of intellectuality and modern scientific psychology, scholars and scientists serve these universal powers free of charge. In the name of science, they freely propagate anti-human ideas among the intellectuals and younger generation. How miserable are these thinkers and intellectuals who serve the capitalistic ruling powers! They really believe that they are serving humanity, freedom, liberty and science!

Thus, in order for the superpowers of bourgeois scientism to dominate, both the East and the West must be sacrificed. They must become the victims of narcotics as well as Freudianism. >From scientism's point of view, every young person who is still human and who still shows sympathy and sensibility towards the destiny of his or her nation and other nations, must be caused to deviate, must be made indifferent to his or her destiny and the destiny of others. In order to accomplish this, any means is permissible and advisable whether it takes the form of science, art, sports, literature, history, tradition, or religion. It does not make any difference. One must be amused by any form. One must be removed from the scene so that one takes notice of nothing. The best way is scientific and mental stupefaction and the strongest factor, particularly among the younger generation, is sex!

Why sex? Because it can be logically explained. It is new. It can easily and freely be accepted. It is the most important point that can attract the young generation, who, in turn, are the most important victim of Freudianism.

Thus all of intellectual, human, artistic, social, political and financial investments must strengthen this school. It is not strange to see how rapidly it progresses and develops.

It must be noted that there is another group who cooperates, albeit unconsciously, in a most effective way with this worldwide power to achieve the aim of attracting the younger generation, particularly women, to Freudianism, and to sex. This group unskillfully fights Freud's innovations by relying on old, strict, illogical and anti-human traditions create restrictions and complexes in the young generation, particularly, women. You may want to know how they cooperate in this inauspicious endeavor. They cooperate by pushing the young generation towards pessimism.

While Freudianism invites woman out of the house, this old group tries to hold her inside by creating bonds, obligations, and restrictions and depriving her of all her human and religious rights thus unconsciously preparing the way for Freudianism. It is in this way that they cooperate with Freud. Statistics show that the insidious invitation of Freudianism has been most successful in traditional societies and countries where women have been most deprived. Thus we cannot fight and confront this universal illness and danger only by relying on ancient traditions, customs, restrictions, bonds, etc. which deny rights to women. There is only one solution: to give human and Islamic rights back to women.

Yes! This is the only way! If the human and Islamic rights of women are given back to her, you have armed her with the weapon whereby she can personally resist and confront Freudianism. But if you deprive her of her rights, you insure that this satanic invitation will capture her. You have pushed her towards it.

The essential and important problem which we have confused is the distinction between culture and religion. Culture and religion have mixed with each other throughout history They make up the collection of ideas, tastes, behaviors, feelings; customs and legal relations which are sacred and honorable to a society.

For example, in Islamic societies, Islamic rights, values, precepts and laws relating to the economy, the family, the community and even the social system have been mixed with local and tribal traditions formed over the centuries. These are certainly not related to Islam. They are only ancient tribal and local traditions and customs supported and protected by society. Thus an intellectual wishing to be released from such ancient and local, tribal traditions must fight a combination of religion and custom in order to be free of both.

Thus both groups (whether they defend religion or do not) must defend the mixture of ancient customs. Those who fight against traditions also confront the living and ascending values of Islam. None of these groups neither the progressive modern intellectuals nor the old traditional religious group can distinguish between religion and culture. Why should they be separate and distinct from each other? Because we Muslims believe Islamic rights and laws are derived from the essence of humanity and the essence of nature and are made by the Will of the Creator of the laws of nature. The laws of nature are stable and never grow old. Thus laws which are based on the general dignity of creation never grow old. On the contrary, social traditions based on production and consumption (on cultural systems which are not fixed laws) have to change.

Religion, a living, permanent phenomenon which could be effective in the present age, can no longer play an effective role in the social life of a community, a society or a generation because religion has been captured by ancient, declining, solidified, deviated traditions and thus can no longer effectively confront the danger of the superpowers.

An aware intellectual is a historian, traditionalist, Islamologist, chronologist and sociologist whose most important cultural mission and responsibility is to distinguish Islam as a living faith from the old traditional moulds which are not Islam but rather tribal customs and to put the real Islamic ideas and faith into new moulds matching the necessities of the present age. The everlasting, living, moving, progressive Islamic contents must be protected and put into new moulds which meet the challenges of each age.

Based on my own experience I have to announce that even the most progressive, intellectual, rebellious and revolutionary thinker when confronted by pure Islamic values and virtues (once these values have been separated from inherited, tribal, ancient, ignorant customs) will be attracted and submit easily to them.

The visage of Fatima the visage of the woman who existed, who spoke, who lived, who played a role in the mosque, in society, in the home training her children, in her family's social struggles and in Islam a woman whose role should be made clear in all its dimensions to the present generations (not only to Muslims but to any human being, man or woman who has human feelings, who believes in human values and who is faithful to real freedom) should be accepted as the best and most effective model to be followed by the present generation.

I myself have experienced this. I have seen so-called religious histories which lack religious feelings, which have no idea about religion, which even negate and oppose religion. When a proper picture of the Prophet's family, all of whom showed humility and submission, emerges we feel that they are really living personalities.

When I say that Islam is living, I mean it is a collection of living thoughts and ideas. It is alive because of its living social laws and rights. It is alive because model, living personalities have been trained by it.

When the beautiful image of Husayn is presented, which no human society (no matter what form of production it may have, no matter what social system it may use, no matter at what cultural stage it may be) can deny his unique and exceptional personality. No one can deny he is an eternal human symbol who should be followed, admired and praised. All accept him.

Remember Zaynab at Karbala! She had withstood the difficult task of seeing martyrdom after martyrdom in her captivity in the Kufa bazaar and in the courts of Ibn Ziyad and Yazid.

What woman of whatever class, at whatever stage of life in whatever system of particular tribal, religious and social ideas, who believes in the eternal values of womanhood and ascending values of the feminine, does not accept Zaynab as a permanent everlasting symbol of the social, human and progressive leadership of women?

Such people are living. They are symbols of Islam. To be alive means to be effective, to show the right way, to guide humanity in whatever stage it may be, in whatever land it may occupy, to whatever race it may belong.

But, unfortunately, customs and religion have been mixed together. This mixture of customs (which are changeable and vary from one social, tribal and local system to another and are related to and produced by economic and social relations and Islamic values which are unchangeable, eternal and related to inspiration, revelation and the prophetic mission) is defended in the name of religion.

The intellectual, seeing the deprivations and abuse of women on one hand and the appearance of social freedom, class advantages and sexual liberty on the other hand, becomes confused.

When the religious group of a community (who are acquainted with religion and believe it), are unable to distinguish between the religion and the local, tribal, cultural customs, how can we expect young, modern intellectuals (willing to fight against ancient customs) to make a distinction between religion and customs?

If the distinguished scholastics of Islam, who are acquainted with Islamic truths, do not perform this task, what organization, what power will do so?

The Prophet of Islam such an elevated personality one before whom history is humiliated when he entered his home was kind, lenient and gentle. When his wives quarreled with him, he left his home and made a place for himself in the storage area without showing any harsh reaction against them.

This behavior of the Prophet of Islam must be considered as an Islamic criterion rather than the behavior of a supposedly religious but really abusive man. Such un-Islamic, abusive behavior was based on an ethnic, cultural tradition. Therefore, distinctions should be drawn between ethnic, cultural custom and an Islamic religious command.

The Prophet's behavior was so human that it amazes us. For example, some of the young girls of Madinah showed interest in participating in the Battle of Hunayn, a place between Makkah and Jeddah. There is a distance of more than 600 kilometers between Madinah and Makkah and then an additional distance from Makkah to Hunayn. This journey took several months.

Nevertheless, the Prophet of Islam took a group of fifteen young girls along with the fighting caravan so that they could assist in the war effort.

In the Mosque of the Prophet in Madinah, there was a porch used for social affairs. Each corner of it was devoted to a social purpose. At one corner was the tent of Ruqiya who, according to the Prophet's command, had established a tent inside the Prophet's mosque Islam's place of prayer to hospitalize, care for, and nurse the war's wounded. Sad ibn Maaz (the Islamic chief officer wounded in the Battle of Khandaq with a spear) was hospitalized there. This tradition of looking after the sick patients and nursing them continued for many centuries afterwards in Islam.

I personally read about this in Ibn Yamin's book in which he praised Aladdin, the governor of Sabzevar, and mentioned that Aladdin built a hospital in a very large paradise like garden in a village near Sabzevar. Describing the hospital, Ibn Yamin says that there were beautiful girls, like angels, who looked after the patients and nursed them....

Expectations from the Muslim Woman ( Part 1 )

Expectations from the Muslim Woman
Part 1
Dr. Ali Shariati


Prior to beginning my lecture, I would like to propose some practical suggestions. Speaking about women's rights, women's personality and Islam's view of women differs a great deal from the realization of the actual value which Islam gives to human beings, and to women, in particular. Most often we are satisfied by pointing out that Islam gives great value to science or establishes progressive rights for women. Unfortunately we never actually use or benefit from these values or rights. We could benefit from these if we were to act according to the understanding which we acquire from them.

A great many people are acquainted with Islamic views of society, social relations, women's rights, children's rights and family rights, but these same people then actually follow non-Islamic, ancient cultural traditions and do not dare to base their lives upon Islamic values. That is, they do not practice what they preach. Thus we always remain at the level of talking.

We must complete Islamic views and intellectual discussions with practical solutions. We must find a way whereby we reach these values and rights in practice. After proposing my views, the question should be asked as to how we can actually put them into practice?

Throughout history the problem of women's rights and their role has always been considered to be an intellectual problem. Thus, various religious, philosophical and social systems have reached varying views in this respect.

From the 18th through the 20th centuries (particularly after W.W.II) any attempt to address the special problem of the social rights of women and their specific characteristics has been seen as a mere by-product of a spiritual or psychic shock or the result of a revolutionary crisis in centers of learning or as a response to political currents and international movements. Thus, traditional societies, historical societies, religious societies, either in the East or in the West (be they tribal, Bedouin civilized Muslim or non-Muslim societies in whatever social or cultural stage of civilization they may be) have all been directly or indirectly influenced by these thoughts, intellectual currents and even new social realities.

Unfortunately the crisis of the problem of women and their liberation which began in the West and has been strengthened by the ruling superpowers in the 20th century has influenced all human societies, even closed traditional and religious societies. There are only a few cultural, traditional and even religious societies which have been able to properly stand against this flood.

Such societies have frequently been confronted by a peculiar modernism which they have adopted, under the guise of liberation of women, either by rejecting old traditions or by under-taking blind struggles. None of them have succeeded in standing against this attack.

In such societies the newly educated class, the pseudo-intellectuals, who are in the majority, strongly and vigorously welcome this crisis. They themselves even act as one of the forces that strengthens this corrupting and destructive transformation.

In traditional religious societies, including Islamic communities, neither group could stand against the attack of the modern view of the liberation of women as announced by the West. The pseudo-intellectual and modern class of Islamic and non-Islamic societies in the East considered the modest dress to be the symbol of modern civilization, progress and awareness. The old, traditional group passed through and confronted this crisis with non-scientific and illogical tactics due to their lack of experience. It is a general law that when there is a fire resulting from a spill of oil, if someone tries to hurriedly and unskillfully put the fire out, it only spreads more rapidly and more vigorously!

Thus such unskilled struggles against the West have frequently been performed in a manner that has created complexes and various reactions inside such societies. In this way they have paved the way for acceptance of Western ideas and innovations. There are very few societies who have been able to stand against, to adequately resist, and to show an effective reaction to the modern West by consciously selecting their manner and form of lifestyle.

One of the most important factors that can assist Eastern societies in confronting and standing against the intellectual and cultural attack of the West (as it relates to the view of modern woman) is to have a rich culture and history full of experiences, values and ideas. It is important to have progressive human rights and, in particular, to have perfect and complete human models in the religious history of those societies and communities.

Fortunately from this point of view (although they have not been able to consciously stand against the colonial attack of the West), Islamic societies have cultural power and possibilities, have a very progressive history, value system and religion and are in this way very rich. Thus they can, by relying on these values and sources and by reviving and progressing towards the high humanitarian values existing in their culture and their past history encourage their new, young generation to stand and resist the West's attack.

The most effective weapon to confront Western values and the most important factor for creating a conscious struggle within the new generation of our Islamic societies against the West's seduction is to hold up very high, distinguished and characteristic symbols, real personalities of Islamic history. If the lives of such personalities are known in detail, are shown precisely, are revived and introduced properly, scientifically, consciously, are scholastically recognized and presented to our societies, the young generation will sense that there is no need to accept the seductions of the West, no need to decline in the guise of modernism. Rather, they will sense that there are very high, elevated symbols in their own history and religion to be followed and to be considered as models for self-reconstruction.

It must be taken into consideration that all matters related to women, to science, to life-style, to class relationships, to scholastic understanding, to one's world view all have been designed, described and discussed in Islam. We have only to solve our present difficulties, to answer the intellectual challenges, and to reduce our sensual needs. How can we understand our values? How can we use and obtain actual results from them? Our essential aim must be to solve the problem of proper understanding and recognition.

The members of the Prophet's family, in the view of all of the intellectuals of Islamic countries (who possess a more distinguished image of them) have always been the manifestation of the most elevating and liberating humanitarian and Islamic values. These values are not limited to a particular tribe or even to all Muslims. Thus, all of the people of the world can easily see and understand these symbols and examples which have come out of a small house which is greater than the whole of history.

Anyone who believes in the values and virtues of humanity will admit that the symbolic role of the members of this family in various dimensions and fields is beyond historical values of class or tribe. They are rather the highest, meta-historical, meta-tribal values. They are permanent symbols and examples of humanity.

Thus, anyone who is a human being respects them. Anyone who is aware of the values of humanity, any committed intellectual in the world, will admit the values and virtues which this small house created within the arena of human history.

Therefore, when we describe the biography of Fatima, as one of the members of the Prophet's family, we must learn lessons from her personality, her role, her social, mental, and political status and use them to guide our lives in our groups and in our societies.

The problem of proper understanding is the most important and essential problem of our time. At the present time, the struggles of the committed Muslim intellectuals should be directed to a proper understanding and recognition of Islam's history and religion. This proper understanding, including the proper understanding of Fatima, is the key to our salvation. After W.W.II, the problem of woman was designated as being the most important and sensitive problem in the West. The war itself was the main cause for family relations to be split and destroyed. Traditional religious values such as ethics, morals and spirituality collapsed. Also, due to the war, crimes, cruelty, aggression and plunder increased.

From the intellectual and ethical point of view, it had a very diverse effect, causing decline upon the post war generation. Its inauspicious effect after a quarter of a century [since W.W.II] can be seen in the spirit, thought, philosophy and even the art of the present time.

Those who have seen France, Germany, England and even the USA [the last of which was far from the actual field of battle], prior to the war and visited those countries after the war, can clearly see that, although it seems as if centuries have passed, actually the cultures collapsed within one generation. Therefore, the fall of ethical values was one of the natural results of the war, and woman was its bearer.

But the point must be noted that prior to the war, the West had already started a multi-dimensional fight from the various philosophical, mental, social, productive and cultural points of view with the Catholic religion, the ruling religion in the Middle Ages, and thus had unconsciously destroyed all of the ethical, intellectual and ideal values, as well as the restrictions and limits which the church had defended in the name of religion.

One of the values which the church defended in the name of religion was women's rights women's values, both spiritual and social. This defense combined with the declining, anti-female traditions, bonds and limitations.

But after the Renaissance and the development of the bourgeoisie, the bourgeois revolution, the bourgeois culture which is the culture of individual liberty defeated the church and consequently, with this victory, the rule of the church over moral, spiritual, scholastic and legal values was abolished. Thus, all of the restrictions and values concerning women which the church had defended and supported in the name of religion, succumbed to the rise of the bourgeoisie and its culture.

Then suddenly the problem of sexual liberation appeared. Women realized that through the slogan of sexual liberation, all of the anti-human limits, restrictions, and bonds which restrained them could be destroyed. Women welcomed this change vigorously to the extent that sexual liberation entered the arena of science!

What is normally designated as scientific understanding of religion is not a pure scientific and scholastic understanding. It is rather a bourgeois cognition. After the Middle Ages, science which had been in the service of religion and the church, was made to serve the present ruling bourgeois system. If nowadays science appears to oppose religion and moral values, it is not really science that opposes these, but it is the ruling bourgeois which does soy just as in the Middle Ages, it was feudalism which defended aristocratic social-moral traditions in the name of religion. It was Christianity which was, in fact, defending feudalism, and now it is science which, in fact, defends the bourgeoisie. It is intellectuals those who believe that economic and materialistic social foundations are the basis of all social transformations who will more easily accept my argument and logic.

Up to the appearance of Freud (who is one of the agents of the bourgeoisie), it was through the liberal bourgeoisie spirit that scientific sexualism was manifested. It must be taken into consideration that the bourgeoisie is always an inferior class. Although feudalism was an anti-human system, it, nevertheless, relied on an aristocratic elite and their moral values even though these moral values led to a decline. Bourgeoisie mentality negates all of the high, ascending human values and believes in nothing except money.

Therefore, a scholar or scientist who lives, thinks and studies during the bourgeois age, measures collective cultural and spiritual values (the sacrifices of mankind, the martyrdoms, struggles, literature, art etc.), with only the scale of naked economy, with production and consumption and with nothing else. One who studies psychology or anthropology, looking at all the dimensions and manifestations of the mystic spirit of human beings that which religion believes to be the spirit of God and the manifestation of metaphysical virtues sees only unsatisfied sexual appetites. Belief, culture, mental illnesses all are related to the struggle to release an imprisoned and condemned sexual complex. The bourgeois social scientist looks at all of the delicate human sensations and feelings (even a mother caressing her child, the worship of the beloved by the lover and all other issues) in relationship to sex.

Freud, a modern bourgeoisie, armed himself against all moral and human values, against all high and ascending manifestations of the human soul and called it realism. Freud's "realism" was not that of the bourgeoisie, but rather of the scientist, scholar, philosopher, psychologist, and anthropologist who serve the bourgeoisie classy for all of these bring the human being down to the level of a sexual and economic animal! Thus, the bourgeoisie, by alienating all values and virtues, made only one religion, one school, one temple and one messenger for all miserable men of this age for whom all must be sacrificed.

This messenger was named Freud. His religion was sex. His temple was Freudianism, and the first one who was sacrificed on the threshold of this temple was woman and her human values.

We who live in the East always speak about Western colonialization, but I would like to explain that this does not mean that Western colonialization only colonizes or exploits the East. It is a world-wide power and class that exploits and colonizes both the East and the West.

If I had the opportunity, I would explain that this power has alienated the European masses even more than the Eastern masses. The European has been captured by colonialization's legacy of unemployment and misery and will continue to be so in the future. They will continue as victims of anti-colonialism. This ruling colonial power influences Eastern people in many ways such as, emphasis upon unimportant, sensational and emotional matters; rumors, discrimination, and hypocrisy; and sowing discord and pessimism to keep Easterners occupied with mundane and unimportant issues. By these means Easterners are kept in a state whereby they are unaware of what Western colonialization is doing to them, unaware of their fate and destiny. These conspiracies, then cause young Europeans, likewise, to become alienated and destructive, and perform more tricks and crimes. All of these acts are performed in the name of colonialization in Eastern countries without the Easterners realizing it.......